Pentingnya Pendidikan Sex Untuk Membentuk Keluarga Yang Ideal



Indonesia ibarat mendapat peluang emas pada rentang tahun 2020-2030. Indonesia memiliki kesempatan untuk melompat karena datangnya bonus atau deviden demografi. Yang menarik adalah bonus demografi bukanlah tambahan penduduk biasa melainkan jika dilihat dari piramida  penduduk, pada rentang tahun tersebut mayoritas penduduk Indonesia berada dalam rentang usia produktif yaitu 15-64 tahun.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik,  jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035. Namun, pertumbuhan penduduk Indonesia akan cenderung menurun menjadi 1,38% pertahun pada rentang waktu 2010-2015 menjadi 0,62% pada rentang waktu 2030-2035. `Ciri khas dari bonus demografi adalah berkurangnya angka kelahiran dan kematian penduduk. Turunnya angka kematian, menunjukkan pelayanan kesehatan di Indonesia semakin membaik. Sedangkan turunnya angka kelahiran menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah mampu merencanakan dengan matang berapa jumlah anak yang ideal dalam sebuah keluarga. Namun, ada beberapa kendala untuk menurunkan angka kelahiran yaitu tingginya seks bebas dan masih maraknya pernikahan dini di Indonesia.

Dikutip dari insideindonesia.org dalam sebuah survey pada tahun 2000, 31 orang dari 910 pelajar SMA di Sumatera Utara pernah melakukan hubungan intim dan  295 siswa telah melakukan kontak seksual. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan seks yang benar dari lingkungan mereka dengan hanya 10% siswa yang telah diberikan pendidikan seks oleh orangtuanya, hampir 33 % menerima informasi tentang seks dari temannya, sedangkan setengahnya menerima pendidikan seks dari sekolah atau guru. Seks bebas terkadang berakibat pada kehamilan yang tidak diinginkan. Hal yang paling dirugikan disini adalah pihak wanita karena mereka biasanya hanya memiliki sedikit pilihan yakni menggugurkan janinnya yang mana aborsi akan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit, melakukan pernikahan dini apabila pihak laki-laki mau bertanggung jawab atau merawat bayi hingga dewasa  sendirian dengan cemoohan warga.




Pada dasarnya pernikahan dini belum tentu diakibatkan oleh seks bebas. Bisa jadi budaya dari suatu daerah memengaruhi persepsi seseorang untuk menikah dini.  Namun, karena masih belum menginjak usia dewasa, para pelaku pernikahan dini biasanya belum memiliki kemampuan manajeman yang baik dalam membangun sebuah keluarga. Padahal, untuk mencetak generasi yang berkualitas semuanya bermula dari pendidikan yang dilakukan oleh keluarga yang berkualitas pula.  Indonesia menempati peringkat 37 dunia dan peringkat 2 di Asia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang melakukan pernikahan dini terbanyak. Pernikahan dini juga menjadi penyebab tingginya kematian ibu atau bayi saat proses melahirkan karena tidak siapnya organ reproduksi wanita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gordon B. Dahl wanita yang melakukan pernikahan muda lebih rentan berada dalam kemiskinan 31% poin ketika mereka mencapai usia dewasa. Begitu juga dengan wanita yang drop out dari sekolah mengalami 11% poin lebih tinggi untuk hidup dalam garis kemiskinan ketika mereka dewasa. Kurangnya pendidikan pada pemuda juga mempengaruhi pola pikir dan cara pengambilan keputusan bagi pemuda yang cenderung mengedepankan emosi daripada logika. Pemuda yang menikah dini juga lebih rentan mengalami perceraian. Tentu saja perceraian sedikit atau banyak akan membawa dampak psikologis yang kurang baik bagi perkembangan mental anak-anak.  Hal ini di kemudian hari membentuk mata rantai yang harus diputus, demi kualitas generasi bangsa yang lebih baik.

Pendidikan seks yang dilakukan secara efektif serta program pencegahan HIV berefek berlipat pada kesehatan dan tingkah laku.(Mc Keon,2006)  Menurut Debra Hauser, pendidikan seks sebenarnya dapat dimulai sejak usia anak mencapai 5 tahun. Dimulai dari mengenal organ reproduksi yang dimiliki oleh anak serta mengenali jenis kelamin orang lain. Sejak dini, anak juga harus dibiasakan untuk mengenali bahwa ada beberapa bagian tubuh yang tabu untuk disentuh oleh orang lain. Pendidikan mengenai seks dilakukan secara berkesinambungan ketika anak mencapai usia pubertas. Ketika anak mencapai usia pubertas, masa tersebut adalah masa-masa yang rentan dan perlu bimbingan dari orang tuanya. Orangtua dapat menjelaskan fenomena yang terjadi dan penyebab perubahan-perubahan primer dan sekunder pada anak. Orangtua juga perlu menjadi pendamping anak ketika timbul perasaan terhadap teman lawan jenisnya, orangtua dapat menjelaskan atau menjadi teman curhat bagi anak. Anak perlu diberitahu batasan-batasan yang ada diantara teman lawan jenisnya.
Pernikahan dini juga banyak dilakukan di daerah terpencil di Indonesia yang kurang mendapatkan kemajuan teknologi. Bahkan, terdapat budaya berganti-ganti pasangan, tentu saja diakibatkan karena emosi yang dimiliki oleh pemuda masih belum stabil sehingga secara cepat mengambil keputusan untuk bercerai dan menikah lagi. Hal lain juga diakibatkan oleh pemuda yang putus sekolah karena kurangnya biaya dari orangtua, sehingga selepas bersekolah di sekolah dasar mereka tidak memiliki  kegiatan produktif, merasa bosan dan cenderung terjerumus dalam dunia seks bebas atau melakukan pernikahan dini. Dilansir dari www.newsdeeply.com beberapa bidan lokal di daerah Wonosari menyadari hal tersebut. Mereka menyadari hal penting tersebut dan mengadakan penyuluhan dari rumah ke rumah berkeliling menggunakan ambulance untuk mengecek kesehatan satu persatu pasangan muda beserta bayinya dan memberikan alat kontrasepsi yang baik berupa IUD sehingga  mereka merasa lebih aman dan mau memakainya.
Segala bentuk pendidikan seharusnya diawali dari keluarga.  Masih banyak penduduk Indonesia yang kurang paham atau merasa tabu untuk melakukan pendidikan seks di ruang lingkup keluarga. Berkembangnya budaya “bukan suatu masalah yang besar” bahwa setelah melakukan seks bebas,  ketika seorang gadis hamil maka diselesaikan dengan pernikahan dini juga harus diputus. Pemerintah sebaiknya menanggapi hal ini dengan memberikan pendidikan baik itu dari pintu ke pintu maupun dengan mengumpulkan warga di suatu tempat untuk memberikan pengertian tentang pendidikan seks yang dilakukan oleh pihak kesehatan maupun psikolog sehingga menerangkan cara membangun keluarga yang baik dan sehat supaya dapat menelurkan anak anak yang sehat secara jiwa dan raga.    
Referensi
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, UNFA Fund. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta : Badan Pusat Statistik
Dahl, G.B. (2010). Early Teen Marriage And Future Poverty.  Demography. 2010;47:689–718.
Effendi, Anwar. (2015, 7 Juni). Pernikahan Dini di Indonesia Peringkat Dua di Asia. Diakses pada 19 Februari 2017 dari http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/06/07/330142/pernikahan-dini-di-indonesia-peringkat-dua-di-asia
Hauser, Debra. (2013,8 Mei). Sex Education for Kindergarten and Beyond . Diakses pada 18 Februari 2017 dari http://www.nytimes.com/roomfordebate/2013/05/07/at-what-age-should-sex-education-begin/sex-education-for-kindergarten-and-beyond
McKeon, Brigid. (2006). Effective Sex Education. Advocates For Youth. Retrieved from http://www.advocatesforyouth.org/component/content/article/450-effective-sex-education
Narang, Sonia. (2016, 9 Agustus). When Schoolirls Become Mothers in Rural Indonesia. Diakses pada tanggal 19 Februari 2017 dari https://www.newsdeeply.com/womenandgirls/when-schoolgirls-become-mothers-in-rural-indonesia/

Rosmalinda . (2007, 27 Juli). Teenage Pregnancy. Diakses 18 Februari 2017 dari http://www.insideindonesia.org/teenage-pregnancy

Share:

0 komentar